“Poetry heals the wounds inflicted by reason.” — Novalis
SAYA lupa kapan tepatnya saya mulai
tidak senang ditemani oleh orang lain ketika sedang sakit. Sakit selalu
memberi saya ruang yang lapang untuk ditemani oleh diri sendiri dan
buku-buku puisi. Dua bulan terakhir ini, kesehatan fisik saya sama
sekali tidak bisa dibilang baik. Sementara itu, kesehatan jiwa saya
tampaknya memang tidak pernah cukup baik sejak lahir.
Seingat saya, dua bulan terakhir ini,
saya hanya meninggalkan rumah sebanyak lima kali. Dua yang pertama, saat
berada di puncak rasa sakit, saya keluar karena sahabat saya meninggal
dunia. Dua yang lain, saya dipaksa oleh sahabat yang lain untuk makan di
luar rumah. Dan, sekali waktu, saya harus keluar karena ada wawancara.
Selain itu, saya hanya tinggal di rumah. Dua puluh empat jam dalam
sehari. Tujuh hari dalam seminggu.
Sakit, tentu saja, bukan hal yang
menyenangkan. Tapi, sakit selalu melimpahkan kepada saya banyak waktu
untuk membaca. Dan, meskipun saya juga membaca buku-buku jenis lain,
saya lebih banyak dan lebih senang membaca buku puisi ketika sakit.
Entah kenapa, saya selalu merasa buku-buku puisi memberi saya kekuatan.
Saya tidak senang aroma obat-obatan dan saya merasa tertolong oleh
puisi. Terdengar tidak masuk akal. Tapi, begitulah adanya.